Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko berpendapat sikap Pemerintah Australia terhadap para pencari suaka atau imigran secara etika tidak tepat terkait pernyataan beberapa pejabat Australia, yang mengaku membayar ribuan dolar untuk mendorong perahu pencari suaka kembali ke Indonesia
“Ini konteksnya, masih dalam konteks politik. Tapi dari sisi etika itu tidak pas perbuatan seperti itu. Itu yang saya pandang. Dalam konteks politik kedua negara saya tidak mau komentar,” kata Panglima TNI usai Pemberian Brevet dan Jaket kepada puluhan Pemimpin Redaksi (Pemred) media nasional di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (16/6) petang.
Menurut dia, bila melihat panjang batas garis pantai Indonesia yang mencapai 81.000 kilometer dengan kekuatan angkatan bersenjata dalam hal ini TNI Angkatan Laut (AL), masih belum memadai.”Akibatnya, pengawasan kurang maksimal. Sehingga ada beberapa sektor yang kadang-kadang kita kecolongan. Ini mesti harus menjadi atensi kita semuanya ke depan dengan serius,” katanya.
Karena, lanjut dia, titik beratnya dalam konteks itu adalah bukan hanya kemampuan kapal dan kemampuan radar yang dimiliki, serta kemampuan dukungan dan sebagainya. “Kalau itu bagian dari kekurangan kami, kita akan selalu evaluasi,” ucapnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi sebelumnya menuntut jawaban dari Canberra terkait pernyataan beberapa pejabat Australia, yang mengaku membayar ribuan dolar untuk mendorong perahu pencari suaka kembali ke Indonesia.
Retno Marsudi menyatakan itu sesudah Perdana Menteri Australia Tony Abbott menolak menyangkal tuduhan tersebut. Menlu Retno Marsudi mengatakan Indonesia benar-benar prihatin jika betul bahwa kapten dan lima awak kapal pembawa pencari suaka itu masing-masing dibayar 5.000 dolar AS oleh petugas imigrasi Australia untuk kembali ke perairan Indonesia.
Tuduhan tersebut ditujukan kepada polisi setempat di pulau Rote di kawasan timur Indonesia, tempat kapal pembawa 65 pencari suaka datang ke daratan Indonesia pada akhir Mei setelah dicegat Angkatan Laut Australia.
Hubungan diplomatik Pemerintah Indonesia dengan Australia, belakangan ini selalu diwarnai berbagai masalah. Setelah persoalan eksekusi mati dua warga Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran membuat Canbera kalang kabut, kini Jakarta dibuat meradang dengan sikap Pemerintah Australia karena menolak puluhan “manusia perahu”. Jika hanya menolak saja, tak terlalu persoalan bagi kita. Tetapi yang menjadi Indonesia merah telinga, karena puluhan pencari suaka ke Australia itu diarahkan masuk kembali ke Indonesia daripada ke Australia. Sebelum itu, Indonesia sempat kecewa dan protes keras karena dimata-matai oleh Australia.
Seperti ramai diberitakan, pekan lalu juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengatakan telah menerima informasi bahwa ada kapten dan enam awak kapal dibayar masing-masing 5 ribu dolar AS atau setara Rp66 juta oleh pejabat Australia. Kapten dan awak kapal itu disuruh membawa kembali para pencari suaka tersebut ke Indonesia melalui Kupang Nusa Tengara Timur.
Saat Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sedang menyelidiki dugaan suap yang dilakukan pemerintah Australia tersebut, Direktur Regional UNHCR–Badan PBB untuk urusan pengungsi James Lynch memastikan bahwa Australia memang telah memberikan uang suap kepada kapten dan kru kapal yang membawa 65 pengungsi. Kepastian tersebut didapat pasca-UNHCR melakukan wawancara terhadap ke-65 pengungsi, dan juga Kapten serta kru kapal tersebut, di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan pengakuan para pengungsi, mereka ditahan dalam kapal milik Bea dan Cukai Australia selama empat hari, sebelum mereka dimasukkan dalam dua kapal biru dan dibawa ke Indonesia. Sebelumnya, Perdana Menteri Australia Tony Abbott enggan berkomentar banyak mengenai hal ini, namun secara tersirat dirinya mendukung apa yang dilakukan oleh para pejabat di imigrasi Australia tersebut. Sebenarnya sikap Australia menolak para imigran masuk ke negaranya sudah beberapa kali. Itu sebabnya, ketika Pemerintah Indonesia menawarkan kerja sama penanganan imigran tujuan Australia yang transit di Indonesia, selalu ditolak dengan berbagai alasan.
Terkait imigran tujuan Australia dikembalikan kembali ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi telah mempertanyakan hal ini kepada Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson. Retno menyatakan, Grigson berjanji akan menyampaikan pertanyaannya ke pemerintah pusat di Canbera, dan akan segera memberi jawaban.
Apa yang dilakukan Pemerintah Australia yang menolak kedatangan imigran, sangat mengkhawatirkan karena di dalam kapal terdapat anak-anak dan ibu hamil. Para imigran merupakan pencari suaka yang rata-rata berasal dari Bangladesh. Memang, Indonesia sendiri meskipun tidak menjadi anggota reffugee convention, namun akan tetap menerima para imigran karena menganggap ini masalah kemanusiaan.
Banyak negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda konflik dalam negeri, seperti Iran, Irak, Syria dan Afganistan warganya mencari suaka ke Australia. Mereka melarikan diri dari negaranya hanya dengan menggunakan sebuah perahu dan bekal makanan seadanya. Indonesia sendiri, karena mayoritas penduduknya Muslim, telah menjadi tujuan tersendiri bagi pengungsi suku Muslim Rohingya Myanmar yang tidak diakui di negaranya.
Jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia yang ditempatkan di Aceh hingga saat ini telah mencapai 11.941 orang. Mereka kini masih dalam posisi menunggu untuk diverifikasi maupun menunggu masa penempatan ke negara ketiga. Sebab masalah imigran bukan masalah satu atau dua negara saja, melainkan sudah menjadi masalah regional bahkan internasional.
Karenanya kita berharap negara-negara lain turut menampung para imigran Rohingya tersebut dan tidak mengandalkan Indonesia semata dalam penyelesaiannya. Begitu juga terkait 65 pencari suaka yang mencoba mencapai Australia, yang terdiri dari 54 warga Sri Lanka, 10 orang Bangladesh dan satu pengungsi dari Myanmar, hendaknya Australia tidak menolaknya, apalagi “melempar” ke Indonesia. Sebagai dua negara bersahabat (Indonesia-Australia), sudah seyogyanya memang menerima para pencari suaka tersebut, terlebih dari 65 orang tersebut tiga di antaranya adalah anak-anak. Begitu pula sebagai sama-sama negara berdaulat, semestinya Australia juga turut merasakan apa yang dirasakan Pemerintah Indonesia dengan menampung ribuan pengungsi Rohingya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar